Sejauh ini, sejarah mencatat
pada masa lalu, sebelum VOC datang ke Jawa, para bupati telah emberikan upeti
kepada raja dalam bentuk glondong pengareng-areng. Ketika itu telah ada semaca
jembatan yang disebut Juru Wana atau Juru Pengalasan (Wana, alas bahasa jawa
timur berarti hutan).
Pada abad ke-16 diketahui telah ada hutan jati yang dikelola baik disekitar Bojonegoro, Jawa Timur, untuk kepentingan pebuatan bangunan, banteng dan kapal. Sampai denan awal abad XIX, VOC terus memperluas penguasaanya atas hutan jati di bagian Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meski telah menguasai hutan jati selama tiga abad, boleh dikatakan belum ada pengelolaan hutan jati yang baik pada saat itu. VOC lebih banyak mengatur penebangan dan pengamanannya, untuk kepentingan pembuatan kapal dagang dan bangunan lainnya.
Pada abad ke-16 diketahui telah ada hutan jati yang dikelola baik disekitar Bojonegoro, Jawa Timur, untuk kepentingan pebuatan bangunan, banteng dan kapal. Sampai denan awal abad XIX, VOC terus memperluas penguasaanya atas hutan jati di bagian Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meski telah menguasai hutan jati selama tiga abad, boleh dikatakan belum ada pengelolaan hutan jati yang baik pada saat itu. VOC lebih banyak mengatur penebangan dan pengamanannya, untuk kepentingan pembuatan kapal dagang dan bangunan lainnya.
Ketika bangkrut karena korupsi
pada paruh akhir abad XVIII, VOC telah mengeksploitasi habis jati di Jawa dan
meninggalkan lahan hutan yang rusak parah. Ini bukanlah kerusakan secara meluas
terakhir salam sejarah hutan jati di Pulau Jawa. Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda mengambil alih tanggung jawab VOC dan terdorong olah kebutuhan kayu
sebagai bahan baku industry kapal di Belanda saat itu berniat untuk
mengembalikan hutan jati Jawa seperti semula. Gubernur Jenderal Willem Deandels
(1808-1811) lantas mendirikan organisasi pertama untuk pengurusan hutan jati
Jawa; tetap dengan memanfaatkan blandong. Pada 1874, pemerintah meminta dua
rimbawan Jerman, Mollier dan Nemich, untuk merancang sistem budidaya hutan
untuk Jawa. Pemerintah Kolonial Belanda memilih sistem monokultur (penanaman
satu jenis pohom dominan) usulan Mollier. Mereka menolah sistem multikultur
(penanaman banyak jenis pohon) usulan Nemich, hal ini sejalan dengan tujuan
menghasilkan keuntungan ekonomi bagi pemerintah kolonial saat itu.
Pasca kemerdekaan, pengelolaan
hutan jati di Jawa dialihkan kepada Jawatan Kehutanan. Jawatan tersebut
kemudian berubah status menjadi PN (Perusahaan Negara) Perhutani pada 1963.
Status PN itu berubah lagi menjadi Perum (Perusahaan Umum) Perhutani sembilan
tahun kemudian. Di masa kini, hutan-hutan jati terdiri atas hutan yang dikelola
negara, dan hutan yang dikelola olah rakyat. Umumnya, hutan jati dikelola
dengan tujuan untuk produksi (hutan produksi), dengan beberapa pengecualian.
Hutan jati rakyat adalah salah satu bentuk hutan rakyat yang umunya dibangun di
atas tanah milik dan dikelola dalam bentuk wanatani (agroforest).
Dengan kemerdekaan tanggal 17
Agustus 1945, maka penguasaan dan pengelolaan hutan berada di tangan Pemerintah
RI dengan dasar UUD 1945. Namun pengelolaan hutan jati khususnya masih mengacu
prinsip peraturan Pemerintah Belanda yang diterbitkan tahun 1927 dan 1932.
Sebagian besar sumber daya dasar hilang selama masa revolusi fisik dan sosial
penjajahan Jepang, perjuangan kemerdekaan, serta tujuh belas tahun sebelum
kepemimpinan Presiden Soeharto. Hampir semua pohon besar yang tersisa adalah
hasil penanaman pada jaman Belanda, meski ada beberapa pohon jati berukuran
raksasa. Ketika Indonesia merdeka, struktur dan filsafat kehutanan Indonasia,
termasuk pengelolaan hutan yang berkelanjutan sudah dapat dibilang bagus,
dengan demikian pengorbanan semua cara tradisional dalam pemanfaatan lahan
hutan dan kayu.
Sejak tahun 1961, pengelolaan
semua hutan di Jawa di luar cagar alam, suaka margasatwa, hutan wisata, dan
taman nasional dipercayakan kepada perusahaan pemerintah yaitu Perhutani.
Sistem pengelolaan hutan jati di Jawa yang dilakukan Perum Perhutani sampai
saat ini mengikuti sistem pengeloaan hutan jati yang dibangun oleh pemerintah
Belanda. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagaimana
diatur dalam UU No. 9 Tahun 1969, yang bidang usahanya dalam lingkup tugas dan
kewengan Menteri, dimana seluruh modalnya dimiliki Negara berupa kekayaan
Negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham. Ditegaskan dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No. 15/1972, Perum Perhutani sebagai BUMN Kehutanan dengan
wilayah kerja kawasan hutan negara di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan
berdasarkan PP nomor 2 tahun 1078, wilayah kerjanya diperluas sampai kawasan
hutan negara di provinsi Jawa Barat.
Pada tahun 1986, Perhutani
mengalami penyesuaian sebagaimana diamanatkan PP No. 36/1986 tentang Perum
Perhutani dan disempurnakan kembali melalui penetapan PP No. 53/1999 tentang
Perum Perhutani. Dalam masa pemerintahan Kabinet Reformasi, sesuai PP No.
14/2001, Pemerintah menetapkan Perhutani sebagai BUMN dengan bentuk
Perseorangan Terbatas (PT). dengan berbagai pertimbangan dari segala aspek,
keberadaan Perhutani sebagai perseroan dikembalikan menjadi Perum berdasarkan
PP No. 30/2003. Dalam operasionalnya Perum Perhutani di bawah koordinasi
Kementrian Negara BUMN dan dengan bimbingan teknis dari Departemen Kehutanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar