Selasa, 11 November 2014

SEJARAH PENGELOLAAN HUTAN

Sejauh ini, sejarah mencatat pada masa lalu, sebelum VOC datang ke Jawa, para bupati telah emberikan upeti kepada raja dalam bentuk glondong pengareng-areng. Ketika itu telah ada semaca jembatan yang disebut Juru Wana atau Juru Pengalasan (Wana, alas bahasa jawa timur berarti hutan).


Pada abad ke-16 diketahui telah ada hutan jati yang dikelola baik disekitar Bojonegoro, Jawa Timur, untuk kepentingan pebuatan bangunan, banteng dan kapal. Sampai denan awal abad XIX, VOC terus memperluas penguasaanya atas hutan jati di bagian Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meski telah menguasai hutan jati selama tiga abad, boleh dikatakan belum ada pengelolaan hutan jati yang baik pada saat itu. VOC lebih banyak mengatur penebangan dan pengamanannya, untuk kepentingan pembuatan kapal dagang dan bangunan lainnya.

Ketika bangkrut karena korupsi pada paruh akhir abad XVIII, VOC telah mengeksploitasi habis jati di Jawa dan meninggalkan lahan hutan yang rusak parah. Ini bukanlah kerusakan secara meluas terakhir salam sejarah hutan jati di Pulau Jawa. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengambil alih tanggung jawab VOC dan terdorong olah kebutuhan kayu sebagai bahan baku industry kapal di Belanda saat itu berniat untuk mengembalikan hutan jati Jawa seperti semula. Gubernur Jenderal Willem Deandels (1808-1811) lantas mendirikan organisasi pertama untuk pengurusan hutan jati Jawa; tetap dengan memanfaatkan blandong. Pada 1874, pemerintah meminta dua rimbawan Jerman, Mollier dan Nemich, untuk merancang sistem budidaya hutan untuk Jawa. Pemerintah Kolonial Belanda memilih sistem monokultur (penanaman satu jenis pohom dominan) usulan Mollier. Mereka menolah sistem multikultur (penanaman banyak jenis pohon) usulan Nemich, hal ini sejalan dengan tujuan menghasilkan keuntungan ekonomi bagi pemerintah kolonial saat itu.

Pasca kemerdekaan, pengelolaan hutan jati di Jawa dialihkan kepada Jawatan Kehutanan. Jawatan tersebut kemudian berubah status menjadi PN (Perusahaan Negara) Perhutani pada 1963. Status PN itu berubah lagi menjadi Perum (Perusahaan Umum) Perhutani sembilan tahun kemudian. Di masa kini, hutan-hutan jati terdiri atas hutan yang dikelola negara, dan hutan yang dikelola olah rakyat. Umumnya, hutan jati dikelola dengan tujuan untuk produksi (hutan produksi), dengan beberapa pengecualian. Hutan jati rakyat adalah salah satu bentuk hutan rakyat yang umunya dibangun di atas tanah milik dan dikelola dalam bentuk wanatani (agroforest).

Dengan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, maka penguasaan dan pengelolaan hutan berada di tangan Pemerintah RI dengan dasar UUD 1945. Namun pengelolaan hutan jati khususnya masih mengacu prinsip peraturan Pemerintah Belanda yang diterbitkan tahun 1927 dan 1932. Sebagian besar sumber daya dasar hilang selama masa revolusi fisik dan sosial penjajahan Jepang, perjuangan kemerdekaan, serta tujuh belas tahun sebelum kepemimpinan Presiden Soeharto. Hampir semua pohon besar yang tersisa adalah hasil penanaman pada jaman Belanda, meski ada beberapa pohon jati berukuran raksasa. Ketika Indonesia merdeka, struktur dan filsafat kehutanan Indonasia, termasuk pengelolaan hutan yang berkelanjutan sudah dapat dibilang bagus, dengan demikian pengorbanan semua cara tradisional dalam pemanfaatan lahan hutan dan kayu.

Sejak tahun 1961, pengelolaan semua hutan di Jawa di luar cagar alam, suaka margasatwa, hutan wisata, dan taman nasional dipercayakan kepada perusahaan pemerintah yaitu Perhutani. Sistem pengelolaan hutan jati di Jawa yang dilakukan Perum Perhutani sampai saat ini mengikuti sistem pengeloaan hutan jati yang dibangun oleh pemerintah Belanda. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagaimana diatur dalam UU No. 9 Tahun 1969, yang bidang usahanya dalam lingkup tugas dan kewengan Menteri, dimana seluruh modalnya dimiliki Negara berupa kekayaan Negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham. Ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 15/1972, Perum Perhutani sebagai BUMN Kehutanan dengan wilayah kerja kawasan hutan negara di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan berdasarkan PP nomor 2 tahun 1078, wilayah kerjanya diperluas sampai kawasan hutan negara di provinsi Jawa Barat.

Pada tahun 1986, Perhutani mengalami penyesuaian sebagaimana diamanatkan PP No. 36/1986 tentang Perum Perhutani dan disempurnakan kembali melalui penetapan PP No. 53/1999 tentang Perum Perhutani. Dalam masa pemerintahan Kabinet Reformasi, sesuai PP No. 14/2001, Pemerintah menetapkan Perhutani sebagai BUMN dengan bentuk Perseorangan Terbatas (PT). dengan berbagai pertimbangan dari segala aspek, keberadaan Perhutani sebagai perseroan dikembalikan menjadi Perum berdasarkan PP No. 30/2003. Dalam operasionalnya Perum Perhutani di bawah koordinasi Kementrian Negara BUMN dan dengan bimbingan teknis dari Departemen Kehutanan.

Tidak ada komentar: